Minggu, 14 Desember 2008

Naval Medical Research Unit

NAMRU(Naval Medical Research Unit) adalah sebuah lembaga riset di bawah Departemen Pertahanan Amerika Serikat dengan pengelolanya adalah Angkatan Laut AS. Mereka melakukakn penelitian tentang penyakit- penyakit menular di beberapa Negara termasuk di Indonesia. Memang agak aneh fokusnya. Angkatan Laut, militer, tapi interest pada penelitian bidang kesehatan terutama pada penyakit- penyakit menular. Kalau dilihat, bisa dibilang mereka itu membajak WHO. Mereka juga meminta spesimen- spesimen yang ada di WHO dan meminta pula kekebalan diplomatik. Apa urusannya dengan peneliti? Berarti itu semua untuk fasilitas yang mereka butuhkan untuk membawa masuk dan keluar segala sesuatunya ke negara ini. Tas dan bagasi diplomatic memiliki kekuatan tersendiri, jadi tidak sembarang orang yang boleh mengutak- atik. NAMRU memang memberikan banyal manfaat terutama di bidang kesehatan karena banyak membantu pemberantasan penyakit malaria dan TBC di berbagai daerah di Indonesia. Namun persoalannya, kuman- kuman yang mereka dapat dari pemberantasan penyakit tersebut, mereka bawa keluar dan disimpan dan kemudian diapakan, kita belum mengetahuinya. Dan yang paling mengasikan, tidak semua orang punya akses. Kerugian Indonesia jelas sekali terlihat. Indonesia dikadalin. Untuk apa coba mereka mempelajari penyakit menular yang sebenarnya tidak ada di Negara asal mereka? Gampang- gampangnya, mereka membuat vaksin lalu nereka jual. Itu dari segi ekonomi. Tapi itu saja sudah sangat tidak etis. Mereka tidak terkena penyakit ini, tapi mereka mengambil bahan dari orang lain. Tidak etis dan tidak manusiawi, menjual vaksin dari penderitaan orang banyak. Dari segi militer, contohnya malaria. Ketika mengahadapi perang gerilya dengan Negara yang tidak suka dengan dominasinya, mereka tidak perlu capek- capek terjun ke lapangan. Cukup mereka sebarkan saja nyamuk dengan plasmodium falcivarum yang lebih ganas, lalu gerilyawan mati karena terkena serangan nyamuk malaria tropikana. Banyak yang menganggap Laboratorium NAMRU sangat sederhana sehingga tidak mungkin melakukan riset militer yang sebegitu canggih. Tapi bukan itu masalahnya. Yang paling penting bagi adalah mengambil specimen yang kemudian mereka pelihara sebentar, lalu mentransfernya ke laboratorium definitive mereka. Itulah yang membuat mereka membutuhkan kekebalan diplomatic, agar barang- barang yang mereka kirim ataupun dibawa tidak dicek di bandara. Sudah jelas terlihat, mereka memiliki kepentingan dengan mempelajari penyakit- penyakit menular yang ganas di Indonesia, yang sebenarnya sudah terjadi berpuluh- puluh tahun yang lalu tanpa ada yang menyadarinya. Mereka mempelajarinya dengan cara mengambil specimen, lalu dibenihkan, diperbanyak, dan sebagainya untuk dibuat vaksin- vaksin. Mungkin memang di Indonesia tidak ada teknologi canggih, tetapi teknologi penyimpanan ada di sini. Maka dari itu dapat disimpulakan bahwa tempat teknologi canggih tersebut bukanlah di Indonesia, tapi ada di suatu tempat. Lalu mereka fokuskan lagi ke teknologi pengiriman bahan. Untuk itulah kekebalan diplomatic mereka perlukan. Kalo militer melakukan ini, pasti untuk kepentingan militer. NAMRU bias bertahan sedemikian lamanya di Indonesia karena ada bangsa kita yang menjadi antek- anteknya yang tidak mengetahui bahwa senjata biologi atau laboratorium biologi itu sangat berbahaya. Itu lebih berbahaya dari nuklir. Kaluau memang jelas, kerja sama pembuatan senjata biologi antarmiliter, jelas harus ada proteksi. Tidak terdapat di tengah- tengah pemukiman penduduk dan langsung di bawah pengawasan PBB. Departemen Pertahanan Indonesia sebenarnya sudah tahu hal ini, tapi kebiasaan buru orang Indonesia adalah “Kalo belum ada yang berbahaya terjadi, tenang saja lah”. NAMRU merupakan masalah besar dan sangat krusial bagi negara kita. Banyak orang yang tidak menyadari, bahkan kalangan ilmuwan sekalipun. Yang seharusnya pemerintah lakukan adalah menutupnya dahulu, untuk jangka pendek. Tapi dalam masalah ini, pemerintah kita sangatlah lemah, mereka tidak punya nyali sama sekali jika berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar sedikit saja. Tapi ternyata masih ada seorang yang masih berani mendobrak system yang zalim, tidak adil, yang menempatkan AS sebagai penguasa yang bias bertindak seenaknya sendiri. Dialah menteri kesehatan kita, Siti Fadilah Supari yang mampu menelanjangi praktek WHO yang mewajibkan Indonesia mengirim virus ke laboratoriumnya di Hongkong yang tahu- tahu sampelnya sudah ada di tangan Amerika. Selain itu, beliau telah berhasil mengungkap prakter kotor WHO yang ternyata hanya dijadikan alat dalam memperkuat aksi prang biologisnya. Apa yang akan pemerintah lakukan ke depannya? Kita tidak tahu.

Tidak ada komentar: