Ketika Aku Menjadi Seorang Guru
Ternyata masa- masa SMAku terasa lebih berat. Beban di pundakku terasa semakin hebat karena aku merasa inilah jembatan terakhirku untuk menuju kehidupan yang pasti lebih nyata nantinya. Inilah waktu di mana aku harus benar- benar mantap menentukan cita- citaku yang nantinya akan benar- benar menjadi jalan hidupku. Memang sangat sulit rasanya. Masukan apalagi kritikan seringkali menghujam diriku. Bukan hanya yang membangun motivasiku, tetapi banyak juga yang menjatuhkan semangat menuntut ilmuku. Hingga pada suatu hari, sempat kutemui titik jenuh dalam belajarku. Ini memang sangat berbahaya bagiku. Aku mulai malas mengerjakan apapun. Tugas- tugas dari guru kutinggalkan sebagai angin belaka. Nilai- nilai ulanganku mulai menemui nilai terrendah, dan pada suatu hari, Allah memberiku ujian yang amat berat menurutku. Seseorang yang sangat aku cintai, imam di keluargaku, kepala keluarga yang sangat aku banggakan pergi meninggalkanku untuk selamanya. Beliau harus menemui ajalnya dan kembali ke pangkuan- Nya. Hatiku sangat terguncang. Begitu berat rasanya aku menerima kepergian beliau. Titik jenuh yang sempat aku rasakan terasa semakin menemui kejenuhannya. Prestasiku semakin menurun. Aku merasa tidak mempunyai gairah sama sekali untuk belajar. Motivasi dari siapapun tidak dapat mengembalikan semangat belajarku. Hingga akhirnya, salah satu acara training terkemuka aku ikuti tanpa biaya sedikit pun. Mungkin ini salah satu jalan yang Allah tunjukkan untuk membangkitkan motivasiku. Tapi sekali lagi, aku diuji. Salah satu pihak panitia memberitahuku bahwa aku tidak jadi diikutsertakan dalam acara training tersebut. Tapi ternyata ada hikmah di balik semuanya. Keesokan harinya, pihak panitia menghubungiku agar aku tetap dapat mengikuti acara training tersebut. Memang rezeki tidak pernah ke mana. Lewat acara training tersebut, motivasiku lama- kelamaan sedikit bertambah. Aku sadar bahwa kita hanya singgah sebentar di dunia ini. Yang sebenarnya kita tuju adalah Allah, Tuhan Semesta Alam. Di dunia ini, kita hanya berlomba- lomba mengumpulkan pahala untuk bekal kehidupan yang kekal nanti, yaitu akhirat. Aku pun semakin yakin apa yang telah kuperbuat selama ini adalah salah. Aku pun lebih memfokuskan diri kepada keinginanku untuk menjadi seorang akuntan. Aku memang tidak mempelajari pelajaaran tersebut karenaa aku bukanlah anak sosial. Tapi itu tidak sedikit pun mematahkan semangatku. Bahkan aku semakin termotivasi untuk bisa lebih baik dari anak- anak sosial. Aku tetap berkeyakinan penuh untuk dapat mewujudkan segala apa yang aku cita- citakan. Aku pun berpikir, ayahku pasti merasa sangat bangga jika aku dapat mewujudkan cita- citaku itu dan dapat sedikit mengangkat derajat keluargaku. Keringat ibuku yang mengucur deras untuk mencarikan nafkah untuk biaya sekolahku dan adik- adikku, setidaknya akan sedikit terbayar dengan masuknya aku ke perguruan tinggi unggulan dan tidak ada yang tidak mungkin sama sekali, aku dapat melanjutkan belajarku tanpa biaya sedikitpun.
Maka dari itu, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara(STAN)lah yang aku pilih sebagai tempat untuk melanjutkan belajarku. Mungkin ini memang berat, tapi ada sebuah ungkapan yang akan dan terus aku ingat, “You Are What You Think”. Aku harus berpikir bahwa aku bisa, maka aku pasti akan berhasil. Begitupun dengan cita- citaku. Aku selalu berpikir bahwa akulah mahsiswa sekolah tinggi tersebut agar aku dapat tetap teguh dalam pendirianku melanjutkan belajar ke sana. Hal- hal itulah yang selalu aku pikirkan agar motivasi dalam diriku semakin meningkat. Bukan hanya itu yang aku lakukan, berbagai tes yang terkait dengan sekolah tinggi tersebut selalu aku ikuti sebagai alat pengukur kemampuanku. Hingga pada suatu hari, aku dinyatakan lulus tes yang diadakan oleh mahasiswa sekolah tinggi tersebut dengan nilai 180. Itu pulalah yang membuat rasa percaya diriku semakin bertambah. Aku menjadi semakin yakin bahwa STAN akan dapat kutaklukan.
Tapi ternyata takdir membawaku kepada kenyataan yang lain. Apa yang aku cita- citakan selama ini ternyata hanyalah sebuah cita- cita belaka. Aku kini adalah seorang guru. Profesi yang sama sekali tidak pernah aku inginkan ataupun terpikirkan olehku. Tepatnya aku adalah seorang guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di sebuah SMA swasta di daerah Jakarta Barat. Ternyata sungguh sulit profesiku ini. Apalagi aku harus mengajari anak murid yang notabene anak gedongan yang sangat susah diatur, yang menganggap pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang sangat mudah. Tapi apa buktinya? Nilai ulangan mereka tidak pernah lebih dari tujuh. Menurutku, inilah kelemahan generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Menganggap remeh segala sesuatu, bahkan bahasa nasional mereka sendiri. Mengenyampingkan penggunaan tata bahasa, bahkan hingga mengubah Bahasa Indonesia yang seharusnya, menjadi bahasa anak muda alias bahasa gaul. Sangat sulit mengubah kebisaaan tersebut, karena apa yang mereka lakukan memang sudah sangat mengakar di kehidupan sehari- hari. Bukan hanya anak muda yang melekukannya, melainkan telah menelusup hingga berbagai kalangan. Mungkin, itulah mengapa bangsa kita tidak pernah bisa maju. Bahasa nenek moyangnya saja tidak pernah dihargai, bagaimana dengan hal- hal lain yang lebih krusial? Kadang terbersit di benakku, apa yang sebenarnya membuat mereka berbuat seperti itu? Apa karena ada pelajaran lain yang lebih mereka utamakan dari pelajaranku ini? Atau mungkin ada hal lain yang membuat Bahasa Indonesia dikesampingkan, bahkan oleh bangsanya sendiri? Harapanku hanya satu, setiap siswa dapat menghargai setiap mata pelajaran. Apapun itu.
Ternyata tidak hanya kekecewaan yang aku rasakan. Banyak pula hal- hal menarik yang aku alami dalam aktivitas belajar- mengajarku. Karena aku merangkap pula sebagai salah seorang wali kelas, pernah suatu ketika orang tua salah seorang siswa menyodorkan amplop kepadaku ketika sedang diadakan acara pembagian rapor. Beliau menginginkanku menaikkan nilai- nilai anaknya di rapor, yang ternyata dipenuhi angka merah. Beliau sampai memelas bahkan berjanji untuk memberikan berapapun bayaran yang aku inginkan. Aku hanya tersenyum simpul dan mengembalikan apa yang telah beliau sodorkan. Sungguh ironis sistem pendidikan di negeri ini. Jika ada tiga orang saja guru yang menerima sodoran seperti itu, generasi seperti apa yang akan ada di masa depan nantinya? Sudah dapat tergambarkan, pemimpin seperti apa yang akan ada nantinya, jika sistem pendidikan di negeri ini tidak segera diperbaiki. Ada setitik kecemasan dalam batinku.
Semakin lama, aku semakin dapat menikmati profesikun ini. Aku mulai terbisaa dengan perilaku anak- anak. Ketika libur pun, aku mulai merindukan masa- masa bersama nak- anak didikku. Aku pun mulai menjadi teman curhat mereka. Masalah orang tua, malas belajar, keadaan ekonomi, bahkan hingga masalah percintaan sekalipun berani mereka ceritakan kepadaku. Aku pun jadi sering teringat akan masa remajaku dulu. Memang inilah masa- masa di mana mereka harus menghadapi hal- hal seperti itu. Selain itu, aku pun bisa dikatakan sangat dekat dengan staf pengajar yang lain. Tidak ketinggalan, kami pun sering pulang bersama, karena sebagian besar memang masih bebas status. Itu karena kami memang kebanyakan dari kami masih cukup muda. Usiaku saat itu saja baru genap berusia dua puluh tahun. Ternyata apa yang dulu aku pikirkan tentang profesiku ini adalah nihil alias salah besar. Profesiku ini memang sangat berat, tetapi tetap mengasikan, walau dengan gaji yang tidak seberapa karena pemerintah yang belum bisa menomorsatukan pendidikan. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan, karena kedekatanku bersama anak- anak didikku dan para guru sangat tidak ternilai harganya dan itu adalah momen tidak akan pernah tergantikan. Bahkan aku bertekad untuk tetap mengabdikan diriku untuk menjadi seorang guru. Aku akan tetap mengajar di manapun aku di tempatkan dan kapanpun aku dibutuhkan. Bahkan dengan sarana yang sangat tidak memadai sekali pun, aku ingin tetap mengajar. Itu janjiku. Itulah setitik bakti untuk negeriku, Indonesia
Guru adalah sebuah profesi yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku. Sejak kecil, bukan profesi seperti itu yang aku cita- citakan. Seperti halnya anak- anak lain, profesi seperti dokter, tentara, polisi, serta bidanlah yang pasti menjadi cita- cita idaman kami. Tetapi cita- citaku sedikit berbeda dengan teman- temanku yang lain. Aku ingin menjadi seorang sekretaris yang mahir berbahasa asing, agar aku dapat bekerja di perusahaan asing terkemuka nantinya. Itulah cita- cita awalku. Cita- cita masa kecil, yang pasti akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman yang semakin mutakhir.
Aku pun beranjak remaja. Masa kanak- kanak yang sempat aku jalani, menjadikan diriku pribadi yang pantang menyerah. Mungkin memang, sifat kekanak- kanakan masih menempel erat dalam diriku. Tapi itu tidak pernah menjadikanku pribadi yang manja. Kehidupan ekonomi orang tua yang tidak terlalu kekurangan, tidak pula menjadikanku seseorang yang berjiwa konsumtif. Sisa uang jajan selalu aku sisihkan untuk keperluan- keperluan mendadak nantinya. Itulah awal ketika aku mengubah cita- citaku. Aku ingin menjadi seorang pengusaha sukses dengan perusahaan yang tersebar hingga ke seluruh pelosok dunia. Dengan itu semua, aku dapat pula mewujudkan impianku yang lain. Yang ada di benakku saat itu, mungkin jika kelak aku bisa menjadi pengusaha sukses, nantinya aku dapat mengganti separuh materi yang telah orang tuaku keluarkan dengan susah payahnya untukku. Dengan semua bekal tersebut, akupun berniat untuk mendirikan sebuah sekolah gratis yang dapat menampung murid- murid kurang mampu dari keluarga yang tidak berkecukupan, anak- anak jalanan, serta anak- anak yatim piatu yang kebanyakan pasti bingung kepada siapa mereka harus menggantungkan hidupnya. Mungkin itulah secercah harapan yang dapat kuurai jika kelak impian dan cita- citaku sebagai pengusaha sukses dapat terwujud.Ternyata masa- masa SMAku terasa lebih berat. Beban di pundakku terasa semakin hebat karena aku merasa inilah jembatan terakhirku untuk menuju kehidupan yang pasti lebih nyata nantinya. Inilah waktu di mana aku harus benar- benar mantap menentukan cita- citaku yang nantinya akan benar- benar menjadi jalan hidupku. Memang sangat sulit rasanya. Masukan apalagi kritikan seringkali menghujam diriku. Bukan hanya yang membangun motivasiku, tetapi banyak juga yang menjatuhkan semangat menuntut ilmuku. Hingga pada suatu hari, sempat kutemui titik jenuh dalam belajarku. Ini memang sangat berbahaya bagiku. Aku mulai malas mengerjakan apapun. Tugas- tugas dari guru kutinggalkan sebagai angin belaka. Nilai- nilai ulanganku mulai menemui nilai terrendah, dan pada suatu hari, Allah memberiku ujian yang amat berat menurutku. Seseorang yang sangat aku cintai, imam di keluargaku, kepala keluarga yang sangat aku banggakan pergi meninggalkanku untuk selamanya. Beliau harus menemui ajalnya dan kembali ke pangkuan- Nya. Hatiku sangat terguncang. Begitu berat rasanya aku menerima kepergian beliau. Titik jenuh yang sempat aku rasakan terasa semakin menemui kejenuhannya. Prestasiku semakin menurun. Aku merasa tidak mempunyai gairah sama sekali untuk belajar. Motivasi dari siapapun tidak dapat mengembalikan semangat belajarku. Hingga akhirnya, salah satu acara training terkemuka aku ikuti tanpa biaya sedikit pun. Mungkin ini salah satu jalan yang Allah tunjukkan untuk membangkitkan motivasiku. Tapi sekali lagi, aku diuji. Salah satu pihak panitia memberitahuku bahwa aku tidak jadi diikutsertakan dalam acara training tersebut. Tapi ternyata ada hikmah di balik semuanya. Keesokan harinya, pihak panitia menghubungiku agar aku tetap dapat mengikuti acara training tersebut. Memang rezeki tidak pernah ke mana. Lewat acara training tersebut, motivasiku lama- kelamaan sedikit bertambah. Aku sadar bahwa kita hanya singgah sebentar di dunia ini. Yang sebenarnya kita tuju adalah Allah, Tuhan Semesta Alam. Di dunia ini, kita hanya berlomba- lomba mengumpulkan pahala untuk bekal kehidupan yang kekal nanti, yaitu akhirat. Aku pun semakin yakin apa yang telah kuperbuat selama ini adalah salah. Aku pun lebih memfokuskan diri kepada keinginanku untuk menjadi seorang akuntan. Aku memang tidak mempelajari pelajaaran tersebut karenaa aku bukanlah anak sosial. Tapi itu tidak sedikit pun mematahkan semangatku. Bahkan aku semakin termotivasi untuk bisa lebih baik dari anak- anak sosial. Aku tetap berkeyakinan penuh untuk dapat mewujudkan segala apa yang aku cita- citakan. Aku pun berpikir, ayahku pasti merasa sangat bangga jika aku dapat mewujudkan cita- citaku itu dan dapat sedikit mengangkat derajat keluargaku. Keringat ibuku yang mengucur deras untuk mencarikan nafkah untuk biaya sekolahku dan adik- adikku, setidaknya akan sedikit terbayar dengan masuknya aku ke perguruan tinggi unggulan dan tidak ada yang tidak mungkin sama sekali, aku dapat melanjutkan belajarku tanpa biaya sedikitpun.
Maka dari itu, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara(STAN)lah yang aku pilih sebagai tempat untuk melanjutkan belajarku. Mungkin ini memang berat, tapi ada sebuah ungkapan yang akan dan terus aku ingat, “You Are What You Think”. Aku harus berpikir bahwa aku bisa, maka aku pasti akan berhasil. Begitupun dengan cita- citaku. Aku selalu berpikir bahwa akulah mahsiswa sekolah tinggi tersebut agar aku dapat tetap teguh dalam pendirianku melanjutkan belajar ke sana. Hal- hal itulah yang selalu aku pikirkan agar motivasi dalam diriku semakin meningkat. Bukan hanya itu yang aku lakukan, berbagai tes yang terkait dengan sekolah tinggi tersebut selalu aku ikuti sebagai alat pengukur kemampuanku. Hingga pada suatu hari, aku dinyatakan lulus tes yang diadakan oleh mahasiswa sekolah tinggi tersebut dengan nilai 180. Itu pulalah yang membuat rasa percaya diriku semakin bertambah. Aku menjadi semakin yakin bahwa STAN akan dapat kutaklukan.
Tapi ternyata takdir membawaku kepada kenyataan yang lain. Apa yang aku cita- citakan selama ini ternyata hanyalah sebuah cita- cita belaka. Aku kini adalah seorang guru. Profesi yang sama sekali tidak pernah aku inginkan ataupun terpikirkan olehku. Tepatnya aku adalah seorang guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di sebuah SMA swasta di daerah Jakarta Barat. Ternyata sungguh sulit profesiku ini. Apalagi aku harus mengajari anak murid yang notabene anak gedongan yang sangat susah diatur, yang menganggap pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang sangat mudah. Tapi apa buktinya? Nilai ulangan mereka tidak pernah lebih dari tujuh. Menurutku, inilah kelemahan generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Menganggap remeh segala sesuatu, bahkan bahasa nasional mereka sendiri. Mengenyampingkan penggunaan tata bahasa, bahkan hingga mengubah Bahasa Indonesia yang seharusnya, menjadi bahasa anak muda alias bahasa gaul. Sangat sulit mengubah kebisaaan tersebut, karena apa yang mereka lakukan memang sudah sangat mengakar di kehidupan sehari- hari. Bukan hanya anak muda yang melekukannya, melainkan telah menelusup hingga berbagai kalangan. Mungkin, itulah mengapa bangsa kita tidak pernah bisa maju. Bahasa nenek moyangnya saja tidak pernah dihargai, bagaimana dengan hal- hal lain yang lebih krusial? Kadang terbersit di benakku, apa yang sebenarnya membuat mereka berbuat seperti itu? Apa karena ada pelajaran lain yang lebih mereka utamakan dari pelajaranku ini? Atau mungkin ada hal lain yang membuat Bahasa Indonesia dikesampingkan, bahkan oleh bangsanya sendiri? Harapanku hanya satu, setiap siswa dapat menghargai setiap mata pelajaran. Apapun itu.
Ternyata tidak hanya kekecewaan yang aku rasakan. Banyak pula hal- hal menarik yang aku alami dalam aktivitas belajar- mengajarku. Karena aku merangkap pula sebagai salah seorang wali kelas, pernah suatu ketika orang tua salah seorang siswa menyodorkan amplop kepadaku ketika sedang diadakan acara pembagian rapor. Beliau menginginkanku menaikkan nilai- nilai anaknya di rapor, yang ternyata dipenuhi angka merah. Beliau sampai memelas bahkan berjanji untuk memberikan berapapun bayaran yang aku inginkan. Aku hanya tersenyum simpul dan mengembalikan apa yang telah beliau sodorkan. Sungguh ironis sistem pendidikan di negeri ini. Jika ada tiga orang saja guru yang menerima sodoran seperti itu, generasi seperti apa yang akan ada di masa depan nantinya? Sudah dapat tergambarkan, pemimpin seperti apa yang akan ada nantinya, jika sistem pendidikan di negeri ini tidak segera diperbaiki. Ada setitik kecemasan dalam batinku.
Semakin lama, aku semakin dapat menikmati profesikun ini. Aku mulai terbisaa dengan perilaku anak- anak. Ketika libur pun, aku mulai merindukan masa- masa bersama nak- anak didikku. Aku pun mulai menjadi teman curhat mereka. Masalah orang tua, malas belajar, keadaan ekonomi, bahkan hingga masalah percintaan sekalipun berani mereka ceritakan kepadaku. Aku pun jadi sering teringat akan masa remajaku dulu. Memang inilah masa- masa di mana mereka harus menghadapi hal- hal seperti itu. Selain itu, aku pun bisa dikatakan sangat dekat dengan staf pengajar yang lain. Tidak ketinggalan, kami pun sering pulang bersama, karena sebagian besar memang masih bebas status. Itu karena kami memang kebanyakan dari kami masih cukup muda. Usiaku saat itu saja baru genap berusia dua puluh tahun. Ternyata apa yang dulu aku pikirkan tentang profesiku ini adalah nihil alias salah besar. Profesiku ini memang sangat berat, tetapi tetap mengasikan, walau dengan gaji yang tidak seberapa karena pemerintah yang belum bisa menomorsatukan pendidikan. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan, karena kedekatanku bersama anak- anak didikku dan para guru sangat tidak ternilai harganya dan itu adalah momen tidak akan pernah tergantikan. Bahkan aku bertekad untuk tetap mengabdikan diriku untuk menjadi seorang guru. Aku akan tetap mengajar di manapun aku di tempatkan dan kapanpun aku dibutuhkan. Bahkan dengan sarana yang sangat tidak memadai sekali pun, aku ingin tetap mengajar. Itu janjiku. Itulah setitik bakti untuk negeriku, Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar